468x60 Ads

KEPEMIMPINAN DI INDONESIA

Masalah Pemimpin dan Kepemimpinan Baru Indonesia Bertambah lagi usia bangsa ini. Indonesia Raya genap 63 tahun. Namun masa yang telah lewat itu belum mendekatkan nasib bangsa ini kepada negara yang dicita-cita seperti yang termaktub dalam alinea terakhir Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: Negara yang pemerintahannya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Masalah-masalah Bangsa Sampai detik ini sejumlah masalah masih mengidap di tubuh bangsa ini. Di bidang Politik, hukum dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh. Rumah bangsa ini tidak punya pagar. Kapal-kapal asing bebas keluar masuk menjarah ikan di perut laut pedalaman. Bahkan negara tetangga tanpa rasa takut memindahkan patok-patok batas negara. Maklum, peralatan perang tentara kita lawas. Sementara, budaya koruptif begitu akut dan sistemik ada di seluruh struktur urusan publik. Di sektor Kesra, sejumlah borok bangsa masih belum hilang: Angka kemiskinan tinggi. Pendidikan dan kesehatan mahal. Anak-anak busung lapar belum hilang dari angka statistik. Untuk urusan bencana, begitu lambat penanganannya. Ini adalah wujud minimnya rasa empati negara terhadap kesengsaraan rakyatnya. Belum lagi konflik horizontal, baik yang bermotif sara ataupun bermotif ekonomi. Ini pertanda negara tidak hadir di saat rakyat membutuhkan sebagai lembaga yang memiliki otoritas mengatur ketertiban. Di bidang ekuin. Kita tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri. Bahkan, kalah nyali dengan pemodal asing dalam setiap negosiasi membagi kue hasil usaha. Akibatnya, kita krisis energi. Antre minyak menjadi pemandangan sehari-hari. Antre bensin. Pemadaman listrik. Kenapa itu semua terjadi? Banyak faktor yang menjadi sebabnya. Tapi, ada satu faktor mendasar yang menjadikan itu semua terjadi, yaitu kegagalan para elite kita memimpin bangsa ini. Sejatinya seorang pemimpin adalah orang yang secara berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab dirinya. Ia problem solver masalah lingkungannya. Celakanya, beberapa dekade kepemimpinan bangsa ini justru diemban bukan oleh seorang problem solver. Jika pun ada, masih malas berpikir. Tidak kreatif dalam mencari solusi. Setidaknya masih tambal sulam. Akibatnya, tidak ada satu masalah bangsa pun yang terselesaikan secara tuntas. Kenyataan itu bisa kita dapati dalam potret keseharian masyarakat, tercetak di surat kabar, dan terekspose di kotak kaca televisi di ruang keluarga rumah kita. Siapapun presidennya, rakyat selalu harus antre minyak tanah untuk kompor mereka. Siapapun gubernur di ibukota, macet dan banjir adalah penyakit akut yang entah kapan akan enyah dari kehidupan keseharian warga kota. Repotnya lagi jika pemimpin yang terpilih justru menjadi problem bagi bangsa ini. Setiap hari rakyat digempur dengan masalah-masalah yang tidak perlu tapi dibuat pemimpin jenis ini. Sehingga tak heran jika hampir semua pemimpin di negeri ini masa akhir jabatannya adalah tragedi. Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyat, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam kesendirian. Begitu juga Soeharto. Bapak Pembangunan ini pun tersungkur di masa akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang hampir tidak masuk akal. Tak heran jika akhirnya masalah-masalah yang membelit bangsa ini jadi bertumpuk dan tidak pernah diselesaikan. Sebab, kepemimpinan yang ada hanya sibuk membangun benteng kekuasaan dengan permainan citra. Semua masalah bangsa diselesaikan dengan retorika, iklan di media massa, atau setidaknya dengan kata “akan” lewat statemen di forum kenegaraan. Dengan kata “akan” itu seolah-olah masalah telah terselesaikan. Padahal tidak. Persis seperti seorang ABG yang mendempul wajahnya dengan bedak tebal guna menutupi bopeng bekas jerawat. Wajahnya terlihat mulus memang. Tapi, bopeng di wajahnya masih tetap ada. Karena itu, bangsa ini memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin seperti ini tentu lahir dari generasi baru. Bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu. Itulah hukum besi suatu perubahan. Sesuatu berubah dan menjadi baru karena memang diganti dengan yang baru. Banyak cara melakukan perubahan. Ada yang mengambil jalan radikal revolusioner. Perubahan radikal. Terbuka juga model persuasif gradual. Hanya saja cara terakhir ini ternuansa kompromi. Di tahun 1998 bangsa ini memilih cara kompromi. Reformasi adalah buah kompromi rejim Orde Baru yang membuka ruang bagi kaum reformis untuk tampil di tingkat nasional. Yang terjadi kemudian –dan itu kenyataan hari ini—kompromi itu menghasilkan simbiosis yang aneh yang kemudian menjadi paradoks gerakan reformasi. Tak jelas lagi siapa yang reformis dan siapa yang antireformasi. Perubahan baru yang signifikan baru akan terjadi jika terjadi perubahan kepemimpinan yang cukup radikal. Bangsa ini membutuhkan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi antitesis karakteristik kepemimpinan gaya lama. Tapi, tentu saja kepemimpinan baru itu tidak berpola pikir nihilis. Pasti ada sisi-sisi positif yang dihasilkan dari kerja kepemimpinan masa lalu. Hal-hal positif itu tentu saja batu pijakan yang bagus untuk memulai step baru bagi perjalan bangsa ini ke depan. Proses kelahiran kepemimpinan baru saat ini sangat memungkinkan. Syarat-syarat yang ada, baik berupa kondisi sosial, ekonomi, dan politik sudah lengkap. Tinggal satu faktor penting yang belum ada: munculnya aktor yang berinisiatif menjadi penggerak perubahan. Perlu orang yang berani, jujur dengan cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi dan cita-cita perjuangan, serta sabar dalam berjuang. Aktor perubah berkarakter seperti itulah yang dibutuhkan sebagai pemimpin di hari ini. Jangan sampai bangsa ini seperti keledai. Selalu mengulang kesalahan yang sama: memilih pemimpin bertipe makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya sendiri. Masalah Lahirnya kepemimpinan nasional Namun kelahiran kepemimpinan baru seperti itu di pentas nasional bukan tanpa kendala. Setidaknya masih ada katup budaya yang perlu dijebol. Masyarakat kita masih berpola pikir tradisional, masih menganggap pemimpin itu seperti manusia setengah dewa. Bahkan, di masa raja-raja Hindu dahulu, pemimpin adalah titisan dewa. Mitos Ratu Adil pun masih menjadi pengalaman yang mengendap di alam bawah sadar kebanyakan masyarakat kita. Karenanya, memunculkan kepemimpinan baru harus dilakukan dengan merasionalisasikan pikiran masyarakat. Masyarakat harus diyakinkan bahwa pemimpin itu adalah manusia biasa yang punya titik lemah disamping keintimewaan-keistimewaan individual yang dimilikinya. Sehingga dengan begitu, tidak akan ada pengagungan terlalu berlebihan kepada seorang pemimpin dan ketika ada “cacat” dalam kepemimpinannya tidak terjadi tragedi yang mencoreng sejarah kepemimpinan bangsa ini. Jika rasionalitas masyarakat telah tercipta, maka kepemimpinan nasional akan terbentuk dari sebuah sistem demokrasi yang kuat. Ada rule of the game yang jelas. Di era tansisi seperti sekarang ini, kita membutuhkan elite-elite kepemimpinan nasional yang waras. Pemimpin-pemimpin yang visioner dan transformatif. Setidaknya untuk mendidik dan menyiapkan masyarakat menjadi rasional. Tentu saja cara yang paling efektif adalah dengan keteladanan. Pemimpin-pemimpin di masa transisi ini harus bisa menjadi suri teladan masyarakat. Jika para elitenya rasional, maka pengikutnya juga rasional. Bukan waktunya lagi elite hidup dan eksis dari memanipulasi massa pengikutnya. Itu jika kita ingin Indonesia menjadi negara modern. Tipe Kepemimpinan Baru Masyarakat berkali-kali kecewa. Mereka membutuhkan tipe kepemimpinan baru, yaitu kepemimpinan dari lapisan generasi muda. Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat: pertama, perencana. Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama. Kedua, Pelayanan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja yang solid. Ketiga, Pembina. Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif. Untuk menumbuhkan tipe kepemimpinan baru, dibutuhkan proses belajar yang berkelanjutan dalam berbagai dimensi. Pertama, dimensi belajar untuk menginternalisasi dan mempraktikan nilai-nilai baru yang sangat dibutuhkan bagi perubahan kondisi bangsa sehingga membentuk karakter dan pola perilaku yang positif sebagai penggerak perubahan. Kedua, belajar untuk menyaring dan menolak nilai-nilai buruk yang diwarisi dari sejarah lama maupun yang datang dari dunia kontemporer agar tetap terjaga karakter yang otentik dan perilaku yang genuine. Ketiga, belajar untuk menggali dan menemukan serta merevitalisasi nilai-nilai lama yang masih tetap relevan dengan tantangan masa kini, bahkan menjadi nilai dasar bagi pengembangan masa depan. Namun kepemimpinan baru bukanlah proyek trial and error. Melainkan upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual. Krisis ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang kompeten di bidangnya dan memiliki visi yang jauh untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Bencana alam dan sosial yang terjadi silih berganti menegaskan perlu hadir tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat serta berempati dengan nasib mayoritas korban. Ketiga, tantangan lintas negara di era informasi membutuhkan urgen kesadaran akan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi kondisi nasional dan jaringan yang luas dalam memanfaatkan sumber daya. Keempat, goncangan dalam kehidupan pribadi dan sosial mensyaratkan adanya kemantapan emosional dan spiritual dari setiap pemimpin dalam mengatasi problema diri, keluarga, dan bangsanya. Tipe pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan segera di pentas nasional. Tapi, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini membutuhkan secara masif proses pengkaderan (baca: sekolah kepemimpinan) yang outputnya bisa diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni. Tantangan Indonesia Masa Depan Tantangan lingkungan Indonesia masa depan sangat beragam. Namun, kata kuncinya adalah dinamika perubahan yang begitu cepat. Dinamika perubahan itu tercipta dari isu-isu seperti globalisasi, regionalisasi, knowledge economy, dan borderless world. Dalam menghadapi situasi dunia yang dinamis seperti itu, bangsa ini harus punya perspektif yang berbeda tentang tipe kepemimpinannya. Pemimpin di masa mendatang bukan hanya pemimpin yang berkarateristik seperti diinginkan oleh para pengikutnya. Tapi, terdapat harapan-harapan bahwa Pemimpin di masa depan mampu memenuhi dan memiliki kondisi-kondisi seperti berikut ini: 1. The meaning of direction (memberikan visi, arah, dan tujuan) Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari kepemimpinannya. Setiap pemimpin yang efektif adalah menghayati apa yang dilakukannya. Waktu dan upaya yang dicurahkan untuk bekerja menuntut komitmen dan penghayatan. 2. Trust in and from the Leader (menimbulkan kepercayaan) Keterbukaan (candor) merupakan komponen penting dari kepercayaan. Saat kita jujur mengenai keterbatasan pengetahuan yang tidak ada seluruh jawabannya, kita memperoleh pemahaman dan penghargaan dari orang lain. Seorang pemimpin yang menciptakan iklim keterbukaan dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang mampu menghilangkan penghalang berupa kecemasan yang menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya menyimpan sesuatu yang buruk atas kepemimpinnya. Bila pemimpin membagi informasi mengenai apa yang menjadi kebijakannya, pemimpin tersebut memberlakukan keterbukaan sebagai salah satu tolok ukur dari “performance” kepemimpinannya. 3. A sense of hope (memberikan harapan dan optimisme) Harapan merupakan kombinasi dari penentuan pencapaian tujuan dan kemampuan mengartikan apa yang harus dilakukan. Seorang pemimpin yang penuh harapan menggambarkan dirinya dengan pernyataan-pernyataan seperti ini: saya dapat memikirkan cara untuk keluar dari kemacetan, saya dapat mencapai tujuan saya secara energik, pengalaman saya telah menyiapkan saya di masa depan, selalu ada jalan dalam setiap masalah. Pemimpin yang mengharapkan kesuksesan, selalu mengantisipasi hasil yang positif. 4. Result (memberikan hasil melalui tindakan, risiko, keingintahuan, dan keberanian) Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang berorientasi pada hasil, melihat dirinya sebagai katalis –yang berharap mendapatkan hasil besar, tapi menyadari dapat melakukan sedikit saja jika tanpa usaha dari orang lain. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, tolerasi terhadap risiko, disiplin dari seorang “entrepreneur”. Selain empat kondisi di atas, terdapat pula beberapa falsafah pemimpin yang harus dipegang teguh pemimpin masa depan Indonesia. Pertama, pemimpin harus punya integritas. Bukanya kita selalu selalu mengatakan, paling enak berhubungan dengan orang yang memiliki integritas. Kedua, pemimpin harus mengakui akan adanya perbedaan dan keanekaragaman bangsa kita. Dengan demikian, pemimpin masa depan negeri ini mampu mengelola segala perbedaan budaya, latar belakang suku dan agama, serta kepentingan seluruh elemen bangsa ini lalu mengubahnya menjadi peluang dan kelebihan. Jadi pemimpin masa depan adalah pemimpin ang berpikiran terbuka (open minded). Selain itu, pemimpin masa depan adalah pemimpin yang sadar betul bahwa segala tindakan dan keputusannya akan berpengaruh terhadap orang lain atau sekelompok masyarakat. Dan ini juga yang melandasi kepemimpinannya menjadi begitu empati dengan nasib dan derita rakyatnya. Dalam sejarah mungkin kepedulian Umar bin Khaththab seperti dongeng yang mustahil bagi pemimpin masa sekarang. Umar memanggul sendiri sekarung gandum saat ia mendapati seorang ibu memasak baru untuk mendiamkan anaknya yang lapar. Jika ada perasaan empati seperti ini sedikit saja saat ini, tentu rakyat korban Lumpur Lapindo tidak akan mengalami penderitaan yang menahun. Suksesi dan Rotasi Kepemimpinan Nasional Sudah saatnya panggung suksesi kepemimpinan nasional di tahun 2009 diisi dengan isu memunculkan kepemimpinan yang kuat, yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara; pemimpin yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan intelektual. Sudah waktunya kepemimpinan nasional dipegang oleh pribadi yang bersih, peduli, dan profesional. Jangan serahkan tongkat kepemimpinan bangsa ini kepada pemimpin dengan kepribadian yang tidak konsisten dan dikelilingi lingkungan yang tidak kondusif. Namun isu suksesi kepemimpinan bukan hanya di tingkat nasional saja. Karena negeri yang luas ini tidak boleh kita gantungkan kepada satu pribadi saja. Seharusnya bangsa ini perlu menata ulang sistem kepemimpinannya. Perlu meritokrasi kepemimpinan. Bangsa ini harus membuka kesempatan untuk munculnya pemimpin-pemimpin baru bukan hanya berdasarkan level struktural lembaga pemerintahan, tapi juga per segmen sektor kehidupan masyarakat. Bukan masanya lagi kepemimpinan menjadi monopoli segelintir elite. Urusan olahraga harus didorong untuk dipimpin oleh orang-orang yang bergelut di bidang olahraga. Jangan lagi dikooptasi oleh pejabat negara dan dipakai sebagai portofolio di urusan politik. Dengan begitu, dunia olahraga akan profesional dan meraih prestasi menjadi ideologi perjuangannya. Sudah bukan masanya lagi suksesi kepemimpinan diseleksi oleh para elite sendiri. Apalagi jika berdasarkan keturunan. Seorang ibu dan ayah menyerahkan tongkat kepemimpinan partainya kepada anak kandungnya, atau seorang paman kepada keponakkannya. Seharusnya pemimpin adalah seorang petani yang membuka ladang seluas-luasnya agar bibit-bibit pemimpin baru tumbuh di sekelilingnya. Adalah fakta bahwa bangsa Indonesia punya potensi yang luar biasa. Bukan sekali dua kali pemuda-pemudi kita menjadi juara olimpiade ilmiah di pentas internasional. Kita juga saksikan di layar kaca talenta bocah-bocah negeri ini di arena Pildacil dan acara sejenisnya. Tentu potensi mereka akan tidak tumbuh-kembang jika kepemimpinan bangsa ini dihegemoni berdasarkan satu atau dua trah keturunan saja. Pemimpin Indonesia masa depan adalah orang yang membuka kesempatan untuk bagi siapa pun untuk muncul ke pentas nasional. Ia menghapus kendala budaya yang ada seperti paternalistik, feodalisme, dan mental abdi dalam dari setiap individu anak bangsa. Sebagai pemimpin, pemimpin baru Indonesia masa depan harus menjadi sosok yang berani memberi tantangan dan resiko kepada kader-kadernya. Sebab, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang menjadi sekolah bagi pemimpin generasi selanjutnya. Sebagai sekolah bagi pemimpin masa depan, pemimpin haruslah membuka pintu-pintu seleksi bibit unggul bangsa ini hingga ke pelosok dan pojok-pojok lapis masyarakat. Tak ada salahnya belajar dari Brazil yang selalu berhasil dalam memilih 11 orang pemain sepak bola dunia. Mekanisme kaderisasinya mampu menghasilkan pemain sepakbola kelas dunia dan dengan jumlah suplai yang luar biasa. Salah satu upayanya yang menonjol adalah melakukan talent scouting dari seluruh lapisan masyarat termasuk yang paling miskin pun. Namun dalam hal menjaring pemimpin masyarakat mereka juga belum berhasil betul walaupun hal ini sudah dipraktekkan. Jika kita tiru pendekatan yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi penjaringan dari seluruh tingkat masyarakat dan membangun budaya meritokrasi yang berimbang, maka bukan mustahil, stok kepemimpinan bangsa ini over suplai. Kondisi itu akan membawa dinamisasi kepemimpinan. Daur kepemimpinan menjadi cepat. Kepemimpinan akan selalu dipegang oleh orang-orang muda yang masih fresh dan penuh vitalitas. Seleksi kepemimpinan akan terjadi berdasarkan prestasi. Apa yang sudah dibuat. Bukan karena anak siapa. Dengan begitu kepemimpinan akan bergaya egaliter. Itulah tipe pemimpin muda Indonesia yang diidam-idamkan. Leadership action kata kuncinya. Potensi, prestasi, dan kesempatan menjadi jalan persemaiannya. Tunjukanlah langkah-langkah nyata dalam menjalankan aksi sebagai perwujudan aksi kepemimpinan dan ini menjadi contoh bagi para pengikutnya. Jangan malu membuat koreksi atas kekurangan ataupun kesalahan karena penegasan aksi yang genuin menjadi penuntun mereka yang dipimpin. Mari kita semai kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin yang kokoh bagi bangsa ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Translate